Rabu, 17 Juni 2009

Peranan pemda syariat islam

BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber dari kehidupan relegius, adat yang kukuh dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah. Kehidupan relegius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajahan, mempertahankan kemerdekaan dan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, meski rakyat Aceh kurang mendapat peluang dalam menata diri, penempatan Ulama pada peran terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan, serta penyelenggaraan Pemerintah yang memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan.
Kelahiran Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh di bidang Agama, Adat Istiadat, Pendidikan dan Peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001. Hal ini diperkuat dengan disahkannya Undang-undang Tentang Otonormi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 pada tanggal 9 Agustus 2001.
Latar belakang terbentuknya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 dimana keberadaan masyarakat Aceh di Bumi Nusantara ini memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di daerah tersebut mampu menata kehidupan kemasyarakatan yang unik, egaliter / sederajat, dan keseimbangan dalam menyiapkan kehidupan duniawi dan uhkrawi. Sebuah semboyan kehidupan bermasyarakat telah menjadi pegangan umum yakni “ adat bak poeteum meuruhom ; hukom bak syiah kuala ; Qanun bak potroe phang ; reusam bak laksamana; (yang artinya “adat dari sultan ; hukum dari Ulama ; peraturan dari pemerintah ; perjuangan dan pertahanan dari pahlawan)”. Semboyan ini masih dapat diartikulasikan dalam perspektif modern dalam bernegara dan mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab. Tatanan kehidupan seperti itu sangat memungkinkan untuk dilestarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan berlandaskan kepada dasar hukum dan nilai sejarah di atas, maka untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang perlu untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan Pemerintahan dalam bentuk Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.  
Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat dalam misi khusus di bawah Wakil Perdana Menteri yang memberi status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1 / MISSI / 1959 yang meliputi Agama, Peradatan dan Pendidikan. Sesunguhnya dengan pemberian status Daerah Istimewa bagi Provinsi Aceh merupakan jalan menuju penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh namun karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan di Pemerintahan Pusat melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan. Maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya yang kemudian melahirkan hal-hal yang tidak sejalan dengan aspirasi daerah.
Rakyat Aceh yang selalu hidup dalam konflik berkepanjangan, serta hilangnya rasa aman pada masyarakat selalu dijadikan sebagai alat politik, sehingga supremasi hukum sangat sulit untuk dapat ditegakkan di Aceh, namun untuk menghidupkan kembali supremasi hukum yang sudah koma, maka perlu keseriusan dari para penegak hukum. Disamping kejelasan materi hukum yang berwibawa, serta tegas sehingga dapat mengayomi seluruh lapisan masyarakat dengan tanpa adanya perbedaan status derajat dan kedudukan yang sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 27. Masyarakat Aceh kembali mengkaji sebab dan musabab kebobrokan beserta kemerosotan dan maraknya kriminal pembunuhan, perampokan, penculikan, pencurian hak dan bermacam ragam maksiat yang sepanjang sejarah belum pernah terjadi pada masa silam, begitu juga rasa takut dan cemas yang berlebihan sangat dirasakan oleh masyarakat, sehingga akhirnya masyarakat Aceh menyadari bahwa kemakmuran, ketentraman dan rasa aman serta kejayaan Aceh itu berjalan semasa masyarakat taat kepada hukum syariat Islam.
Sejarah masyarakat Aceh telah menjadikan Agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Penghayatan dan Pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang islami, budaya dan adat yang lahir dari renungan para Ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat, bahkan dalam perjalanan sejarah mulai abad ke 17 sampai dengan pertengahan abad ke 19 Aceh mencapai puncak kejayaannya dalam bidang Ilmu Pengetahuan, Politik, Hukum, Pertahanan dan Ekonomi. Puncak keemasan Aceh tersebut tidak terlepas dari pemberlakuan syariat Islam secara kaffah sebagai pedoman rakyat dalam segala aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Sementara sejak pertengahan abad ke 20, baik karena alasan internal maupun eksternal syariat Islam mulai ditinggalkan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bersamaan dengan kondisi demikian rakyat Aceh menuju masa-masa suram dan sampai sekarang dalam kondisi yang sungguh memprihatinkan, selama itu pula rakyat Aceh merindukan berlakunya kembali syariat Islam yang sudah vakum selama dekade di atas, sehingga dapat mengantarkan Aceh untuk meraih kembali kejayaannya pada posisi Baldatun Thaibatun Warrabun Ghafur.
Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998 semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di daerah Aceh yang telah lama dikenal sebagai daerah “Serambi Mekkah”. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 ditambah lagi Undang-undang Otonomi Khusus bagi Aceh Nomor 18 Tahun 2001 serta diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Aceh Nomor 5 Tahun 2000 dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002.

1.2. Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
Syariat Islam adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan dan dapat diterapkan dengan menggunakan segala aturan hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur`an dan Hadit`s, yang dapat mendorong terciptanya suasana yang Islami di segala bidang. Secara umum syariat Islam meliputi aspek aqidah, ibadah, muammalah dan akhlak. Setiap orang Muslim dituntut untuk mentaati keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur aqidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan takwa atau hati nurani seseorang sedangkan ketaatan pada aspek muammalah dan akhlak di samping ditentukan oleh kualitas iman dan taqwa atau hati nurani juga dipengaruhi adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Upaya legislasi pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah, serta syiar Islam bukanlah upaya untuk mengatur subtansi dari aqidah dan ibadah. Dengan demikian upaya legislasi pelaksanaan syariat Islam sebagaimana diatur dalam Qanun adalah sebagai membina atau menjaga, memelihara dan melindungi aqidah orang Islam di Aceh dari berbagai paham dan aliran sesat. Oleh sebab itu maka perlu aparatur untuk mensosialisasikan pada masyarakat, mulai dari penyuluhan sampai dengan pemberian hukuman.
 Dari penjelasan di atas, masalah-masalah penelitian dapat di identifikasikan sebagai barikut :
1. Belum maksimalnya peran Pemerintah Daerah dalam mensosialisasikan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan.
2. Belum maksimalnya strategi yang digunakan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan untuk mencapai tujuan syariat Islam.
3. Dalam mensosialisasikan syariat Islam cenderung mengalami hambatan
4. Upaya sosialisasi syariat Islam belum sepenuhnya mencapai target dalam pelaksanaan syariat Islam.
5. Pelaksanaan syariat Islam secara Kaffah akan terwujud seiring kuatnya dukungan dari masyarakat.

1.2.2. Pembatasan Masalah
Tujuan pelaksanaan syariat Islam adalah terwujudnya keadilan di tengah masyarakat yang secara lebih sederhana bertujuan memberikan hak kepada mereka yang memang berhak serta tidak memberikan hak atau mengambilnya kembali dari mereka yang tidak berhak. Kegiatan pelaksanaan syariat Islam selama ini akan melibatkan semua pihak. 
Syariat Islam yang di laksanakan di Kabupaten Aceh Selatan dilihat dari segi pelaksanaan atau penanggung jawab dapat dipisahkan kepada tiga pihak, yaitu:
1. Aspek atau segi ajaran yang tanggung jawab pelaksanaannya ada pada Pemerintah, Pemerintah tentu akan menjadi perencana dan penggerak, serta memberi fasilitas utamanya.
2. Aspek atau segi ajaran yang tanggung jawab pelaksanaannya ada pada masyarakat, masyarakat diharapkan akan memberi partisipasi penuh sehingga hasil akhir dapat dicapai sesuai dengan rencana dan harapan masyarakat itu sendiri.
3. Aspek atau segi ajaran yang tanggung jawab pelaksanaannya ada pada pribadi-pribadi. Hal ini merupakan tanggung jawab langsung antara individu dengan Allah SWT.
Dengan demikian semua pihak dalam pelaksanaan syariat Islam adalah sebuah keniscayaan. Untuk mempersempit ruang lingkup permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan syariat Islam, maka penulis hanya mengambil secara garis besar permasalahan yang terjadi dengan pembatasan masalah :
“Bagaimana Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan memfungsikan Dinas Syariah Islam, Majelis permusyawaratan Ulama (MPU), Polisi Syariah dan Peradilan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Selatan”.

1.2.3. Perumusan Masalah
Dalam hal perumusan masalah penulis mengambil beberapa masalah yang dianggap penting dan perlu yaitu:
1. Bagaimana peranan Dinas Syariah Islam, Majelis permusyawaratan Ulama, dan Mahkamah Syar`iyah di Kabupaten Aceh Selatan.
2. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan.
3. Strategi apa yang digunakan Pemerintah dalam sosialisasi pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan yang merupakan fasilitator dalam pelaksanaan syariat Islam harus berusaha melaksanakan syariat Islam di berbagai bidang. Tentunya dengan penyelenggaraan kehidupan beragama, Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan sehingga perlu dicari upaya dalam mengatasi tantangan dan hambatan tersebut.

1.3. Tujuan dan Kegunaan 
1.3.1. Tujuan 
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan dinas Syariah Islam, Majelis permusyawaratan Ulama, Mahkamah Syar’iyah dan masyarakat dalam pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan .
b. Untuk mengetahui hambatan, dan dukungan aparatur penegak syariat dalam pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan
c. Untuk mengetahui strategi Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan dan aparatur penegak syariat Islam dalam mencapai tujuan dan sasaran pelaksanaan syariat Islam.

1.3.2 Kegunaan 
1.3.2.1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam dalam membantu terwujudnya masyarakat madani dan memberikan wawasan serta gambaran tentang pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan. 
 
1.3.2.2. Kegunaan Praktis
Adapun kegunaan praktis bagi penulis adalah untuk melatih berpikir kritis dengan mengamati fenomena yang ada dilapangan sehingga mampu menganalisa dan memberikan solusi dalam memecahkan masalah berdasarkan teori yang sudah didapat.





BAB II
PENDEKATAN MASALAH



2.1. Tinjauan Secara Teoritis
2.1.1. Peranan 
Peranan menurut Soekanto (1990:268), adalah: “Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan“.
Lebih lanjut Soekanto (1990:269), menjelaskan bahwa paling tidak peranan itu mencakup tiga hal, yakni:
a. Peranan meliputi norma-norma yang berhubungan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan yang dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Sedangkan menurut Poerwadarminta (2003:735), mengatakan peranan adalah: “Suatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya sesuatu hal atau peristiwa )”.
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan adalah suatu kedudukan atau posisi seseorang maupun suatu hal yang memegang bagian penting dalam suatu keadaan atau peristiwa.

2.1.2. Pemerintah 
Secara etimologis pemerintah berasal dari kata perintah, Pemerintah mempunyai arti sebagai berikut :
1. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.
2. Pemerintah adalah kekuasaaan dalam memerintah suatu negara atau badan tinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet yang merupakan suatu pemerintahan).

Menurut Inu Kencana (2001:20), “pemerintah memiliki 4 (empat) unsur yaitu: Ada dua pihak yang terkait, kedua pihak yang saling memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki kekuasaan dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan”.
Sedangkan menurut Taliziduhu Ndraha (2003:6), pemerintah adalah ”organ yang berwenang memproses pelayanan publik dan berkewajiban memproses pelayanan civil bagi setiap orang melalui hubungan pemerintahan, sehingga setiap anggota masyarakat yang bersangkutan menerimanya pada saat diperlukan, sesuai dengan tuntutan yang diperintah”.

2.1.3. Peranan Pemerintah 
Peranan pemerintah ialah suatu kedudukan atau posisi seseorang yang memegang atau mengendalikan suatu hal dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan kebijakan yang menyangkut hal tersebut. 
Peranan pemerintah dalam mensosialisasikan pelaksanaan syariat Islam ialah pemerintah sebagai fasilitator untuk pengendalian dalam mensosialisasikan syariat Islam sehingga pelaksanaan syariat Islam dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang dicapai. Salah satu aspek penting pemerintah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berperan serta dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan pembangunan sesuai dengan budaya adat setempat. Peran Pemerintah Daerah dalam hal ini dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakan dan pengawasan dalam pengelolaan Pemerintahan Daerah. 
Selain itu kesungguhan pemerintah juga dapat dilihat dengan adanya pembentukan Rencana Strategi pelaksanaan syariat Islam dan pelaksanaan Visi dan Misi serta dapat juga dilihat dengan adanya partisipasi langsung pemerintah yang berupa sumbangan pemikiran, ide-ide, dan tenaga serta sumbangan materiil yang dikerahkan demi tercapainya syariat yang Kaffah.
Salah satu aspek penting pemerintah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berperan serta dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan pembangunan sesuai dengan budaya adat setempat. Mulai akan proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakan dan pengawasan dalam pengelolaan Pemerintahan Daerah. Maka salah satunya cara adalah disesuaikan dengan potensi Sumber Daya Manusia setempat.
Proses pengembangan syariat Islam merupakan potensi yang ideal dalam upaya membangun masyarakat yang madani serta mengerti akan arti dari islam yang sesungguhnya. Dengan demikian akan memudahkan untuk mencapai tujuan yang dicapai yakni berbentuk syariat yang kaffah yang membawa manusia pada Baldatun Thayibatun Warabbur Ghafur.

2.1.4. Pengertian Dan Ruang Lingkup Syariat Islam
2.1.4.1. Pengertian Syariat Islam 
Syariat berasal dari kata Syirat yang berarti jalan, jalan menuju mata air, jalan yang harus dilalui oleh umat Islam. Sedangkan menurut Istilah adalah hukum dan peraturan yang disyariatkan Allah SWT kepada hambanya, baik itu disyariatkan dalam Al-Qur`an (lewat wahyu) atau sunnah Rasulullah SAW. Sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam.
Menurut Yusuf Qardawi (2003:13) kata syariat berasal dari kata syara`a al-syai`a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir`ah dan syariah yang berarti suatu tempat untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambil tidak memerlukan bantuan alat Lain. 
Menurut Al Mawardi dalam buku Legitimasi Negara Islam bahwa syariah ialah alat untuk membawa manusia ke dalam naungan dimana penguasa maupun rakyat mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. 
Dijelaskan lagi oleh Mu`adz bin Jabal bahwa syariat adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT kepada manusia sebagai pedoman dalam kehidupan. Syariat merupakan aspek norma atau hukum dalam ajaran Islam yang keberadaannya tidak terlepas dari aqidah Islam. Oleh karena itu isi syariat meliputi aturan-aturan sebagai implementasi dari kandungan AL-Qur`an dan Sunnah.
Suryana (1997:107) mengatakan bahwa :
“Syariat dari kata syirat yang berarti jalan, jalan menuju mata air atau jalan yang harus dilalui oleh umat Islam. Sedangkan menurut istilah syariat adalah hukum dan peraturan yang disyariatkan (diundang-undangkan) Allah kepada hamba-Nya, baik itu disyariatkan dalam Al-Quran (lewat wahyu) atau melalui sunah Nabi SAW. Dengan kata lain syariat adalah sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam”.

2.1.4.2. Ruang Lingkup Syariat Islam
Syariat merupakan aspek norma atau hukum dalam ajaran Islam yang keberadaannya tidak terlepas dari aqidah Islam. Oleh karena itu syariat meliputi aturan-aturan sebagai implementasi dari kandungan Al-Quran dan sunah. Syariat Islam mengatur perbuatan seorang muslim yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang terdiri atas:  
1. Wajib, yaitu perbuatan yang apabila di lakukan mendapat pahala dan bila di tinggalkan mendapat dosa.
2. Sunnah, yaitu perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan bila di tinggalkan tidak berdosa.
3. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh di kerjakan atau di tinggalakan karena tidak mendapat pahala atau dosa.
4. Makruh, yaitu perbuatan yang bila di tinggalakan mendapat pahala dan bila di kerjakan tidak berdosa. 
5. Haram, yaitu perbutan yang bila di kerjakan mendapat dosa dan bila di tinggalkan mendapat pahala.
Syariat Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia agar seorang muslim dapat melaksanakan ajaran Islam secara utuh. Utuh disini tidak berarti semua aspek sudah diatur oleh syariah secara detil. Sebab hanya masalah ibadah yang telah diatur dengan ketat oleh syariat. Selain itu hal yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau muammalah, syariat memberikan landasan hukum yang memberi makna dan arahan bagi manusia. 
Syariat Islam diturunkan Allah SWT kepada manusia sebagai pedoman yang memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan tugas hidupnya di dunia dengan benar sesuai dengan kehendak Allah.
Menurut Suryana (1997:108) syariat berfungsi sebagai berikut :
1. Menujukkan dan mengarahkan manusia sebagai hamba Allah SWT;
2. Menujukan dan mengarahkan Manusia sebagai Khalifah terhadap mahkluk di muka bumi;
3. Menjadikan suatu pegangan hukum bagi manusia demi kebahagian dunia dan akhirat.

Syariat adalah hukum Allah SWT yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil kitab dan sunnah serta dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti Ijma` (Pendapat Ulama) dan Qiyas (Analogi atas hukum tertentu).
Hukum syariat memiliki dua bentuk yaitu :
1. Hukum QATH`I (Pasti) yang bersumber langsung dari nash-nash kitab dan sunnah. Nash-nash tersebut secara tegas menyatakan tentang kepastian hukum. Walaupun posisinya sangat penting dan merupakan azas bagi pembentukan hukum, jumlah nash Qath`i sangat sedikit. Di sisi lain, kaitannya dengan syariat tidak diragukan lagi.
2. Hukum ZANNI (Kurang pasti) yang merupakan hasil pemikiran dan kesimpulan ahli fiqih dari dalil-dalil kitab dan sunnah atau yang tidak ada dalilnya dalam kitab dan sunnah melalui metode Analogi (Qiyas) seperti istihsan
( mengambil dalil yang lebih kuat dari dua dalil ), istishlah (menetapkan maslahat sesuai dengan tujuan syariat), istishhab ( membiarkan berlangsungnya hukum yang lampau karena masih diperlukan ). Metode ini paling dominan dalam kajian fiqh dan ushul fiqh
Syariat Islam tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti Undang-undang, syariat Islam bukan dari perkembangan kaidah-kaidah tertentu, pemanduan landasan-landasan yang beragam dan penyusunan teori-teori dasar. Syariat tidak lahir dan berkembang seiring dengan perubahan dalam masyarakat muslim. 
Syariat Islam lahir dalam bentuk sempurna dan diturunkan sebagai syariat yang sempurna, komprehensif dan konsisten. Allah SWT menurunkannya kedalam hati Nabi Muhammad SAW dalam waktu yang relatif singkat yang dimulai sejak beliau diangkat menjadi Rasullulah dan berakhir sampai beliau wafat, beberapa hari sebelum turun ayat Al-Qur`an yang berbunyi:
“Aku sempurnakan bagimu Agamamu dan aku telah cukupkan bagimu Nikmatku dan aku telah ridhai Islam sebagai agamamu”. (Q.S. Al-Maidah : 3)

Syariat Islam adalah syariat sempurna yang mencakup hukum segala persoalan, seperti persoalan individu, persoalan masyarakat dan persoalan Negara. Syariat Islam juga mengatur hal yang bersifat rohani dan jasmani, agamawi dan duniawi. Syariat berporos pada kekuatan iman dan budi pekerti di samping pada kekuasaan dan negara. Syariat memiliki implikasi balasan di dunia dan di akhirat. Syariat mengikat semua aktivitas seorang muslim dengan aturan Halal dan Haram.
Syariat Islam bersifat Global dan berlaku Universal. Di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen tidak menyebutkan pelaksanaan syariat Islam, namun setiap orang Islam baik laki-laki, perempuan yang berakal dan sudah baliq (Mukallaf) wajib menjalankan aturan berdasarkan syariat yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Hal ini karena syariat Islam berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kaitan individu maupun sosial. 
Syariat Islam diturunkan pada manusia guna memelihara :
a. Agama (hifdzu al din)
b. Jiwa (hifdzu al nafs)
c. Akal (hifdzu al aql)
d. harta (hifdzu al mal)
e. Keturunan (hifdzu al nashl)
Syariat Islam membersihkan dan mensucikan jiwa, dengan jalan mengenal Allah SWT dan beribadat kepada-Nya, mengokohkan hubungan antar manusia serta menegakkannya di atas landasan kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga tercapailah kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

2.2. Tinjauan Secara Normatif
Sebagai acuan penyelenggaran keistimewaan maka pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan terhadap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah pusat merespon dengan baik dengan mengeluarkan Tap MPR Nomor 5 Tahun 1999. Pengundangan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 disambut dengan gembira oleh kalangan pendukung penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, pendidikan yang berazaskan Islam, adat yang tidak bertentangan dengan syariat Allah SWT. 
Mengenai pelaksanaan syariat Islam di dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tercantum dalam pasal (4) ayat (1) yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah terwujud dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Cakupan syariat yang akan dilaksanakan berkaitan dengan keistimewaan, kebijakan daerah dan adat sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Syariat Islam yang didefinisikan secara lengkap yaitu mencakup seluruh ajarannya (tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan). Di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, ini telah memberikan pemahaman yang kaffah kepada syariat Islam mencakup Ibadah, muammalah, jinayat dan munakahat bahkan lebih dari itu mencakup aqidah serta akhlak dan semua ajaran dan tuntutan di berbagai bidang lain.  
Berpijak pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 serangkaian Peraturan Daerah diundangkan seperti Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Seperti yang disinggung di atas adanya aturan Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan dalam bidang pendidikan dan kehidupan adat semakin memudahkan dan mengukuhkan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Walaupun pendidikan merupakan bidang yang telah diotonomikan kepada semua daerah di seluruh Indonesia. Namun Aceh diberi kewenangan khusus untuk menata pendidikan, mengembangkan dan mengatur berbagai jenis jalur dan jenjang pendidikan serta menambah materi yang sesuai dan mendukung pelaksanaan syariat Islam. Mengenai kehidupan adat yang dijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam yang memudahkan pelaksanaan syariat Islam. 
Langkah pengundangan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 belum mampu memenuhi segala aspek, sehingga Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mengatur lebih jauh otonomi khusus seperti peradilan Mahkamah Syariah, Qanun , dan lain-lain.
Aturan mengenai pelaksanaan syariat Islam di dalam Undang-undang ini merupakan kelanjutan serta penyempurnaan terhadap apa yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999. Di dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa peradilan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan Nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariah yang bebas dari pengaruh pihak manapun kecuali pada pengajuan banding pada Mahkamah Agung.
Di dalam Peraturan Daerah Provinsi Aceh Nomor 5 Tahun 2000 disebutkan bahwa setiap pemeluk agama Islam wajib mentaati mengamalkan/menjalankan syariat Islam secara kaffah yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disebutkan pula bahwa setiap warga Negara Republik Indonesia atau siapapun yang bertempat tinggal atau tinggal di Daerah Istimewa Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat islam. Pelaksanaan Syariat Islam meluputi aspek akidah, ibadah, muammalah, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiah atau amar ma`ruf nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat serta mawaris.
Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2001 menetapkan Pelaksanaan Syariat Islam lebih menekan pada bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam dengan tujuan untuk membina, memelihara keimanan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat. Dan meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. Guna mendukung Qanun Nomor 11 Tahun 2001 Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga mengeluarkan Qanun-qanun yang lain diantaranya Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian), Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum). Qanun-qanun tersebut merupakan dukungan besar dalam pelaksanaan Syariat Islam mengingat tindakan atau masalah Qanun tersebut menyangkut hal yang sering terjadi di masyarakat atau sering disebut penyakit masyarakat.

2.3. Konsep Pelaksanaan Syariat Islam 

Berdasarakan landasan teori dan landasan Norma dan kebijakan yang diuraikan di atas bahwa peranan pemerintah dalam pelaksanaan syariat Islam di Kabupaten Aceh Selatan diatur dengan Qanun Nomor 5 Tahun 2000. Qanun Nomor 5 Tahun 2000 memilki basis konstitusional. Apek pelaksanaan syariat Islam yang mencakup dalam Qanun ini adalah akidah, ibadah, muamalah, pendidikan, dan dakwah Islamiah, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, Baitul mal, Qadla, Jinayat, munakahat dan Mawaris. 
Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan Dan Kewenangan Kabupaten atau Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan bahwa kewengan Kabupaten atau Kota adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus dan kewenangan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2003 Tentang pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.
Pelaksanaan syariat Islam secara kaffah merupakan satu dari empat program prioritas pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang. Program prioritas sesuai dengan redaksi yang digunakan dalam rencana strategi (Renstra) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2001-2005 adalah:
1. Penyelesaian konflik dengan kegiatan:
a. Musyawarah dan dialog antara pemerintah pusat / daerah dengan komponen masyarakat dan pihak yang bertikai
b. Pembangunan atau rehabilitas prasarana dan sarana umum / masyarakat yang dibakar dan dirusak.
c. Bantuan biaya kesehatan bagi keluarga yang terkena dampak konflik 
d. Bantuan bea-siswa bagi anak keluarga korban kekerasan dan kerusuhan.
e. Rehabilitas sosial ekonomi masyarakat Aceh yang terkena dampak konflik.
f. Penegakan hukum yang tegas dan adil
g. Memfasilitasi pengadilan terhadap pelanggaran HAM di Aceh.
h. Memulihkan citra aparat penegak hukum dan penyelenggara pemerintahan.
2. Penyeleggaraan keistimewaan Aceh dengan kegiatan:
a. Pembangunan bidang Pendidikan 
b. Pembangunan bidang Agama
c. Pembangunan bidang Adat
d. Peningkatan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah
3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan kegiatan:
a. Penyempurnaan Infrastruktur yang sudah dibangun sebelum berfungsi secara optimal
b. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana transportasi, kelistrikan, telekomunikasi dan air bersih dalam rangka pengembangan kawasan strategis 
c. Peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian rakyat serta pengembangan agrobisnis dan agro industri di pedesaan
d. Bantuan modal dengan bunga rendah pada masyarakat petani, usaha kecil dan industri rumah tangga 
e. Meningkatkan dan mengembangkan usaha pemasaran
4. Pembangunan wilayah perbatasan dan terisolir dengan kegiata:
a. Pembangunan dan peningkatan infrastruktur dasar 
b. Peningkatan Sumber Daya Manusia dalam rangka pemanfaatan Sumber Daya Alam secara optimal oleh masyarakat setempat
c. Peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat
d. Pembangunan keagamaan dan adat istiadat melalui peningkatan prasarana dan sarana keagamaan dan syiar Islam serta pelestarian budaya dan adat istiadat.
Dalam pelaksanaannya, ke 4 (empat) program prioritas di atas diaplikasikan melalui bidang-bidang pembangunan, program-program dan kegiatan-kegiatan untuk syariat Islam dituliskan bidang pembangunan Agama yang dikembangkan menjadi lima buah program besar yaitu:
1. Program peningkatan pelayanan kehidupan beragama 
2. Program peningkatan kualitas pendidikan agama
3. Program pembinaan lembaga sosial keagamaan 
4. Program peningkatan sumber daya dan peran ulama 
5. Program pembinaan syariat Islam
Program ini dirinci lagi menjadi kegiatan-kegiatan yang nanti akan diuraikan secara lebih detail. Lepas dari dokumen resmi lima tahunan diatas, upaya pengamalan syariat Islam di Aceh akan di laksanakan secara simultan dan bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan syariat Islam akan dimulai dalam beberapa bidang secara simultan misalnya bidang ibadat, bidang ketertiban umum perbaikan pelayanan publik dan seterusnya. Jadi akan dimulai secara bersamaan pada lebih dari satu bidang walaupun mungkin dengan perhatian dan penekanan yang berbeda. Ada bidang yang diberi perhatian lebih besar dan ada juga bidang yang dikemudiankan dan dengan perhatian yang juga tidak terlalu besar. 
Dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2000, syariat Islam dibagi menjadi tiga belas bidang, dan Insya Allah ketiga belas bidang ini akan di laksanakan secara simultan dan tetap bertahap. Misalnya dalam bidang ibadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, semuanya akan dilaksanakan secara bersamaan. Bidang ibadat ini relatif telah diamalkan umat sejak lama dan tidak terlalu tergantung kepada kebijakan serta bantuan pemerintah. Masalah kesimultanan disini menjadi tidak terlalu penting sedang mengenai pentahapan, tetap akan dilakukan dan untuk ini lebih lanjut akan diuraikan di bawah. Sedang pada bidang lainnya seperti upaya Islamisasi lembaga keuangan dan kegiatan transaksi (akad, perikatan, pencegahan riba, dan gharar,), serta penjagaan ketertiban umum dengan penetapan atau penjatuhan sanksi melalui Qanun atas perbuatan yang dianggap menggangu ketertiban tersebut. mengenai penjatuhan hukuman atas berbagai perbuatan yang menggangu ketertiban masyarakat melalui persidangan di mahkamah, yang relatif belum pernah berlaku di tengah masyarakat (sudah di tinggalkan sejak seabad yang lalu, sejak kedatangan penjajah ke Aceh) atau baru sebagian kecilnya yang berlaku dan itupun baru mulai musyawarah atau rapat adat jadi belum melalui persidangan formal di depan mahkamah maka sangat perlu memperhatikan kesimultanan dan pentahapan. Penjatuhan hukuman dapat dilaksanakan setelah Qanunnya disahkan, sesudah semua tenaga pelaksananya ( Hakim, Jaksa, dan Polisi) dilatih dan dipersiapkan dengan baik, juga harus setelah sosialisasi di tengah masyarakat dianggap memadai.
Tahapan dalam bidang muamalat, kegiatan yang pertamanya akan diarahkan kepada penghapusan gharar (penipuan atau ketidak jelasan) dan riba, baru setalah itu dilakukan kegiatan untuk membicarakan dan merumuskan berbagai bentuk akad (kontrak) yang dianggap sah atau tidak sah atau lebih dari itu menawarkan bentuk akad yang baru. Masalah pidana akan dimulai dengan menyiapkan Qanun dalam beberapa bidang ta`zir yang dianggap mendesak dan menjadi tuntunan masyarakat di bidang ketertiban umum, yaitu ketertiban beribadah, pemberantasan minuman keras, perjudian serta masalah perbuatan mesum termasuk pornogrfi dan pornoaksi. Sedangkan hudud dan qishash yang relatif berat akan disosialisasikan belakangan setelah kesadaran dan pengamalan ibadat menjadi lebih baik.
Semua kegiatan ini akan dilakukan secara bertahap, mula-mula dilakukan penyadaran dan sosialisasi tentang ketentuan Fiqih mengenai hal ini, pemberian bantuan dan pemudahan (fasilitas) sehingga masyarakat dengan mudah dapat melaksanakan perintah-perintah dan menghindarkan larangan-larangan. Pada waktu yang bersamaan para ahli akan menyusun rancangan Qanun atau keputusan Gubernur atau peraturan lain sekiranya dianggap perlu, sekaligus dengan penentuan sanksinya. 
Akhirnya barulah penjatuhan hukuman melalui putusan mahkamah yang juga memerlukan langkah-langkah dan tahapan-tahapan seperti telah penulis ceritakan di atas. Aturan yang disertai hukuman atas orang-orang yang melanggarnya di dalam fiqih, hukuman tersebut tidak akan dijatuhkan secara serta merta. Perlu penulisan Qanun terlebih dahulu , dan setelah itu akan ada waktu untuk penyadaran dan sosialisasi, sehingga masyarakat tidak terkejut. Jadi ada waktu bagi mereka untuk mempelajari dan menyesuaikan perilaku dengan aturan tersebut.
Begitu juga tidak semua kebijakan atau kegiatan akan di atur dengan Qanun. Dapat dipastikan ada beberapa hal yang memang harus diatur dengan Qanun, sebagai mana diamanatkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, tetapi sebagian yang lain cukup diatur dengan keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati / Walikota atau bahkan lebih dari itu cukup dengan kesepakatan atau pengertian masyarakat semata.
Cakupan syariat Islam adalah sangat luas, lebih luas dari "hukum" dan juga lebih luas dari "agama" dalam pemahaman populer. Di samping dua aspek di atas paling kurang oleh masyarakat Aceh, ke dalam syariat Islam dimasukkan pula beberapa aspek dalam kegiatan pendidikan, kegiatan pemerintahan terutama pemerintahan pada tingkat gampong (Pemerintahan Desa), layanan kesehatan, kesenian, dan berbagai kegiatan lainnya serperti yang disebutkan di atas. Untuk melaksanakan syariat secara Kaffah tidak mungkin tercapai atau paling kurang akan sangan sulit sekiranya harus dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Perlu rencana dan strategi yang matang, serta kesungguhan, biaya dan waktu yang relatif memadai agar semua aspek syariat Islam dapat terlaksana dengan baik di tengah masyarakat.
Sekiranya masyarakat gampong diambil sebagai contoh, maka pertama-tama mereka diharapkan akan melaksanakan syariat Islam dengan mengaktifkan shalat Fardhu berjamaah serta menghidupkan pengajian di meunasah, baik untuk anak-anak, remaja, orang dewasa, laki-laki ataupun perempuan.Secara bersamaan mereka juga diharapkan akan berusaha memperbaiki kualitas sarana peribadatan yang ada, meningkatkan kerukunan, ketertiban dan penjagaan gampong sehingga menjadi lebih aman dan tentram. Untuk sosialisasi tentang tuntunan Al-Qur`an dan sunnah mengenai zakat serta penjabarannya dalam bentuk Qanun dan keputusan gubernur dilakukan secara bertahap. Begitu juga pelatihan, bimbingan dan pengawasan serta evaluasi akan dilakukan secara berkesinambungan. Peningkatan kesadaran masyarakat agar terus meningkatkan kualitas kehidupan dan kualitas keterampilan.
Para Ulama dan peneliti, secara umum telah memilah dan membedakan ajaran Islam menjadi tiga aspek, aqidah, syariah, akhlak. Dari sekedar tiga aspek di atas ditambah lagi dengan pendidikan, pemerintahan gampong dan sebagainya. kelihatan pembagian ini tidak ketat sekali, pertimbangan praktis dan mungkin juga kompromi antar pembuat peraturan lebih mendominasi dari pada pertimbangan sistematis dan teoritis ilmiah. Dalam pasal-pasal berikutnya diberikan rincian dan penjelasan di atas istilah-istilah ini terutama dari segi upaya melaksanakannya. Tetapi penjelasan tersebut pada umumnya tidak mendefinisikan istilah-istilah dengan baik, sehingga dapat saja muncul kesan bahwa sebagiannya terasa saling tumpang tindih. Kesan ini semakin terasa karena istilah-istilah di atas berasal dari ketegori atau tinjauan yang berbeda-beda.
Beralih kepada peran Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, diharapakan semua bidang di atas akan dilaksanakan secara simultan dan bertahap. hampir semua instansi, dalam hal ini Dinas, Badan atau Kantor akan mempunyai program dan kegiatan untuk melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan bidang dan tugas mereka. Dengan demikian pelaksanaan syariat Islam secara sengaja atau tidak akan terkelompokan pula sesuai dengan bidang tugas instansi–instansi pelaksana tersebut. Jadi akan ada pelaksanaan syariat Islam di bidang olahraga, kesehatan, pendidikan, mobilitas penduduk, pariwisata dan seterusnya. Hal ini akan terlalu panjang sekiranya diuraikan dalam tulisan ini, tetapi sebagiannya sekedar untuk contoh, akan diuraikan pada bab berikutnya.
Dilihat dari segi peraturan yang akan mengaturnya, pengamalan syariat Islam di Aceh akan dikelompokkan menjadi tiga: aspek ajaran yang pemberlakuannya harus diatur dengan Qanun seperti pembentukan lembaga keuangan dan transaksi yang Islamiyah serta penentuan perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman atas pelanggarannya. Selanjutnya aspek yang untuk pelaksanaannya cukup diataur dengan peraturan Administratif, seperti Keputusan / Instruksi Gubernur atau Bupati. Upaya peningkatan kualitas pengetahuan agama dan ketaatan beribadah para aparat pemerintahan dengan menyuruh mereka menunaikan shalat fardhu Dzuhur di tempat kerja masing-masing, atau mencantumkan mata pelajaran ibadat dan aspek syariat Islam lainnya dalam pelatihan atau kursus-kursus kepemimpinan untuk para pejabat dan calon pejabat.
Akhirnya aspek-aspek pelaksanaanya diserahkan kepada kesepakatan, kebiasaan atau pemahaman masyarakat sendiri atas ajaran yang ada (Nash Kitab suci serta petuah dan wejangan Ulama) seperti cara shalat, penyembelihan Qurban, penggalakkan bersedakah dan berwakaf . dalam bidang ini pengaturannya dengan Qanun dalam arti hanya mewajibkan satu bentuk tertentu, melarang bentuk atau cara lainnya haruslah dihindari. Masyarakat harus diberi kebebasan untuk beriman sesuai dengan keyakinan, pemahaman atau pilihannya sendiri. Pemerintah tidak boleh memaksa masyarakat hanya memilih cara atau bentuk tertentu. 
Pengelompokan lainnya, berdasarkan penanggung jawab atau pemrakarsanya. Ada yang menjadi tanggung jawab pemerintah termasuk lembaga-lembaga pengadilan yang tidak boleh dilaksanakan oleh masyarakat atau individu, seperti penentuan siapa yang menjadi pelaku dalam sebuah perbuatan pidana dan penjatuhan hukuman. Selanjutnya ada bagian syariat Islam yang pelaksanaanya akan diserahkan kepada masyarakat .
Dalam kurun waktu yang sudah berjalan hampir memasuki lima tahun berlakunya syariat Islam di Aceh belum dapat berjalan dengan baik. Tapi apakah penerapan syariat ini lebih bersifat politis sebatas simbolis, dan belum menyentuh keadilan dan kesejahteraan yang diharapkan rakyat. Banyak rakyat yang apatis tidak peduli karena yang mereka harapkan sebenarnya kedamaian dalam penerapan syariat Islam yang menyeluruh sehingga tidak ada lagi kezaliman penguasa terhadap rakyat.


















BAB III
METODE PENELITIAN



3.1. Desain Penelitian
Dalam menghadapi suatu permasalahan diperlukan suatu metode khusus sebagai refleksi dari penerapan suatu teori yang dianggap paling relevan untuk memecahkan masalah tersebut. Metode tersebut dalam penerapannya perlu didesain agar memudahkan dalam penggunaannya.
Penelitian merupakan suatu cara sistematis untuk meneliti dan mengkaji suatu fenomena dengan menggunakan metode ilmiah dan aturan-aturan yang berlaku. Untuk menerapkan metode ilmiah dalam praktek penelitian perlu disusun desain penelitian yang sesuai dengan kondisi yang seimbang dengan yang akan dilakukan.  
Nazir (2003:84-85), mengatakan “Desain penelitian adalah suatu proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam pengertian yang lebih sempit, desain penelitian hanya mengenai metode pengumpulan dan analisa data saja, sedangkan dalam pengertian yang lebih luas adalah meliputi proses berikut :
a. Identifikasi dan pemilihan masalah penelitian.
b. Pemilihan kerangka konsepsual untuk masalah penelitian serta hubungan-hubungan dengan penelitian sebelumnya.
c. Memformulasikan dengan masalah penelitian termasuk membuat spesifikasi dari tujuan luas jangkau dan hipotesis untuk diuji.
d. Membangun penyelidikan atau percobaan.
e. Memilih serta memberi defenisi terhadap pengukuran variabel-variabel.
f. Memilih prosedur dan teknik sampling yang digunakan.
g. Membuat coding, serta mengadakan editing dan procesing data.
i. Menganalisis data serta pemilihan prosedur statistik untuk mengadakan generalisasi serta inferensi statistik.
j. Pelaporan hasil penelitian, termasuk proses penelitian, diskusi serta interpretasi data generalisasi, kekurangan-kekurangan dalam penemuan, serta menganjurkan beberapa saran-saran dan kerja penelitian yang akan datang.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan induktif. Yang dimaksud dengan penelitian deskriptif menurut Moh. Nazir (2003:54), yaitu: “Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki”.
Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat-sifat serta fenomena yang diselidiki. Penelitian Deskriptif ini memberikan gambaran tentang suatu obyek atau masyarakat tertentu atau gambaran tentang suatu gejala. Metode penelitian deskriptif hanya berusaha untuk mendeskripsikan atau melukiskan faktor-faktor yang ada, kemudian menganalisa dan menafsirkannya untuk selanjutnya disimpulkan.
Lebih jauh, Hadari Nawawi (1998:67), mengemukakan bahwa “metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah penelitian dengan menampakkan objek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat, politik dan lain-lain) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang”.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan induktif. Soetrisno Hadi (2000:43), mengatakan bahwa “Berpikir induktif berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus dan kongkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum”.
Pendekatan induktif menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah metode pemikiran yang bertolak dari kaidah-kaidah (hal-hal atau peristiwa) khusus untuk menetapkan hukum (kaidah) yang penarikan kesimpulannya berdasarkan keadaan khusus yang diberlakukan secara umum berdasarkan kaidah khusus.

3.2. Populasi dan Sampel 
3.2.1. Populasi

Menurut Sugiyono (2005:90), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Pupulasi yang akan penulis teliti adalah Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan yang terkait dengan pelaksanaan Syariat Islam dan kebijakan-kebijakan yang di terapkan dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam yang menjadi tanggung jawabnya di Kabupaten Aceh Selatan.
 
3.2.2. Sampel
Sugiyono (2005:91), mengatakan bahwa sampel adalah ”bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka penelitian dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.” Oleh karena itu penarikan sampel harus dapat mewakili jumlah serat karakteristik populasinya. Dalam pengambilan sampel penulis menggunakan teknik Purposive sampling, yaitu sampel yang digunakan dengan cara pengambilan subyek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas tujuan tertentu.
Suharsimi Arikunto (2002:117), mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pengguna teknik Purposive sampling yaitu:
1. Pengambilan sample harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri pokok populasi
2. Subjek yang diambil sebagai sample benar-benar subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat di dalam populasi
3. Penentuan karakteristik dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan 

3.3. Variabel Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:9), variabel adalah “hal-hal yang menjadi objek penelitian, yang ditatap dalam suatu kegiatan penelitian, yang menunjukkan variasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif”. Sedangkan menurut Nazir (2003:123), “Variabel adalah suatu konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai”. Adapun pengertian dari konsep itu sendiri adalah abstraksi dari fenomena. Sedangkan menurut Sugiyono (2005:38) variabel penelitian adalah “segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian diterik kesimpulan”.
Variabel dalam penelitian ini diperjelas dengan dimensi dan indikator di bawah ini :

  TABEL 3.1.
VARIABEL PENELITIAN

Variabel Dimensi / sub
Variabel Indikator
1 2 3
Peranan
 
Partisipasi


 
1. Sumbangan pemikiran dan ide-ide serta tenaga
2. Sumbangan materiil 
1 2 3



 
Dorongan

 
1. Dukungan 
2. Fasilitasi
Syariat Islam Secara Harfiah /
Umum




Berdasarkan
  Peraturan
  Daerah 1. Aspek Keluarga
2. Aspek Ekonomi
3. Aspek Sanksi Hukum
4. Aspek Peradilan

1. Ibadah
2. Aqidah
3. muammalah
4. Ahklak
5. Baitul mal
6. Pendidikan Dan Dakwah Islamiyah
7. Kemasyarakatan
8. Syiar Islam
9. Pembelaan Islam
10. Qadha, Jinayat, Munakahat,Mawaris

Sumber : Peraturan Daerah NAD Nomor 5 / 2000 dan 
  Perda NAD Nomor 11 / 2002

3.4. Sumber Data Dan Teknik Pengumpulan Data 
3.4.1. Sumber Data 
Arikunto (2002:130-131), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumber data adalah “tempat, orang atau benda dimana peneliti dapat mengamat, bertanya atau membaca tentang hal-hal yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.” dengan demikian maka dapat di klasifikasikan menjadi tiga sumber data, yaitu :
1. Person, yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket.
2. Place, yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam atau bergerak. Diam misalnya ruangan, kelengkapan alat, wujud benda, warna, surat pribadi dan Notulen. Bergerak misalnya bekerja, kegiatan belajar mengajar dan lain sebagainya.
3. Paper, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar atau simbol-simbol lainnya.

3.4.1.1. Sumber Data Primer
  Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari nara sumber melalui wawancara dan observasi. 

3.4.1.2. Sumber Data Sekunder
 Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber data berguna sebagai pemandu, karena data-data ini berasal dari dokumen-dokumen instansi terkait maupun dari publikasi buku-buku yang menunjang data penelitian ini serta penunjang permasalahan di lapangan.

3.4.2. Teknik Pengumpulan Data
 Data merupakan salah satu faktor yang sangat mendukung dan bahkan merupakan pendukung utama dalam suatu penelitian. Untuk memperoleh informasi-informasi, data-data, bahan-bahan serta keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Observasi (Pengamatan)
  Yaitu suatu teknik yang digunakan penulis dalam meneliti dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian, melihat, mendengar dan memperhatikan secara langsung di lokasi penelitian.
2. Wawancara
  Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab atau dialog secara langsung kepada responden melalui pertanyaan dengan menggunakan pedoman wawancara yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 
3. Dokumentasi
  Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mempelajari dan menggali data serta informasi dari arsip-arsip, laporan catatan dan monografi yang dimiliki oleh sumber yang memiliki otoritas atau melalui dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilaksanakan.

3.5. Teknik Analisa Data
Analisa data merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam penelitian. Dengan analisa data dapat diperoleh arti dan makna dari penelitian guna memecahkan masalah tahap analisis pada bab selanjutnya.
 M. Nazir mendefinisikan pengertian analisa data dalam metode penelitian (2003:419) yaitu: “Analisa data adalah pengelompokan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca”. 
Setelah data terkumpul maka data tersebut akan diolah melalui tiga tahap yaitu:
1. Persiapan
Pada tahap ini, data yang teleh terkumpul akan dipilh dan disortir sedemikian rupa sehingga hanya data yang terpakai saja yang akan diangkat. Tahap persiapan dimaksudkan untuk merapikan data agar bersih, rapi dan tinggal mengadakan pengolahan lanjutan atau menganalisa.
2. Tabulasi 
Tahap tabulasi ini dimaksudkan untuk membuat tabel-tabel data serta penggunaan jumlah sederhana untuk memudahkan pengelolaan data. Akan tetapi pada dasarnya bukan pada penggunaan penjumlahan namun terletak pada narasi yang menjelaskan hubungan timbal balik dan sebab akibat antara fenomena yang terjadi pada objek penelitian.
3. Penerapan
Rumusan yang dikemukakan dalam tahapan adalah pengolahan data dengan menggunakan rumus-rumus atau aturan yang ada sesuai dengan pendekatan penelitian.
Sesuai dengan metode penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian deskriptif kualitatif, maka analisa yang dilakukan dari hasil penelitian yaitu sejak awal penelitian sampai selesai penelitian yaitu dengan cara mengelompokkan data, mengurutkan data serta mempersingkat data yang diperoleh sehingga mudah untuk dibaca dan dipahami khususnya oleh penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.
Hal demikian dimaksud agar kerja di lapangan berikutnya didasarkan atas hasil kerja memperoleh data untuk laporan kerja selanjutnya, sehingga dapat diketahui data mana yang masih perlu dicarii dan data mana yang harus diperiksa lagi kebenarannya. Dengan demikian, analisa data bersifat terbuka, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan dan perbaikan berdasarkan data yang masuk, sehingga hasil penelitian sesuai dengan data yang diperoleh darii lapangan.

3.6. Tempat dan Waktu Penelitian
Adapun penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian dilakukan mulai tanggall 09 Januari 2006 sampai dengan 06 Februari 2006.



DAFTAR PUSTAKA



A. BUKU-BUKU
Arikonto, Suharsini, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta

Ali Muhammad, Rusdy. SH. 2004, Vitalitas Pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Arraniry Press, Banda Aceh

A. Fattah, Abu Dkk, 2002, Negara Ideal Menurut Islam Kajian Teori Sistem Pemerintahan Modern, Ladang Pustaka & Intimedia, Jakarta

Al Asyqar, Umar Sulaiman. 2002, Umat Islam Menyongsong Peradaban Baru, Amzah, Jakarta

Ali Ahmad Syeikh, 1992, Falsafah dan Hukum Islam, CV Asy Syifa`, semarang

Al-Jurjawi, Syeikh Ali Ahmad, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Cv. Asy Syifa`, Semarang

Al Waqfi, Ibrahim Ahmad Muhammad, 2003, Apa Yang Menakutkan Dari Syariat Islam, Ihsan Cemerlang, Jakarta

A. salam, Anwar Fuadi. Tgk, 2000, Dapatkah Syariat Islam Berlaku Di Aceh, Gua Hira`, Banda Aceh

Burhanuddin, Nandang. H. Lc. M.Si, 2004, Penegakan Syariat Islam. Al-Jannah Pustaka, Jakarta

Cholid, M. DKK, 2003, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, STPDN Press, Bandung.

Hadi, Sutrisno, 2000 Metodologi Research , Andi Offset, Yokyakarta

Jaringan Islam Liberal,2003, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, sembrani aksara Nusantara, Jakarta

Machmudin, Dudu Duswara., S.H, M. Hum 2003 Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika, Bandung

Mubarok, Jaih. 2002, Modifikasi Hukum Islam, Rajawali Pres, Jakarta

Nazir, Muh, 2003, Metode Penelitian, Bina Aksara, Jakarta

Ndraha, Taliziduhu. 2003, Kybernology, Rineka Cipta, Jakarta

Nawawi, Hadari, 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajahmada University Press, Yogyakarta

Paidar M, Ph.D. 2003 Legitimasi Negara Islam Problem Otoritas Syariah dan Politik Penguasa, Fajar Pustaka, Yogyakarta

Poerwadarminta, W. J. S Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, jakarta

Qardhawi, Yusuf. 2003. Membumikan Syariat Islam, Arasy Mizan, Bandung

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosialisasi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta

Suparta, M.H. MA, dkk, 2004, Fiqih Islam, Toha Putra, Semarang

Suryana, Toto A Drs. M.pd, dkk 1997, Pendidikan Agama Islam, Tiga Mutiara, Bandung

Sugiyono, 2005, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung

Syafi`I, Inu Kencana, 1995, Pemerintahan dan Al-Quran, Eresco, Bandung


B. PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 atas Revisi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, 

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999, Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .  

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang pembentukan Organisasi dan atas Kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam

Peraturan Daerah Provinsi D.I. Aceh Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Di Daerah Istimewa Aceh

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam 

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan Eksekutif, Legeslatif dan Instansi Lain

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. 

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Meisir (Perjudian).

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).

Intruksi Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor 05/ INSTR/2000 Tentang Pembudayaan kemakmuran Mesjid dan Meunasah Dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Intruksi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 06/ INSTR/2002 Tentang Pelaksanaan Shalat Berjamah Di Lingkungan Kantor/ Instansi/ Badan/ Lembaga/ Dinas/ dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Organisasi Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Organisasi Tata Kerja Wilayatul Hisbah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 04 Tahun 2001 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Pemursyawaratan Ulama Kabupaten Aceh Selatan

Qanun Kabupaten Aceh Selatan Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Srtuktur Organisasi Tata Kerja Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkreasi lah......